Pejabat BKD dan Inspektorat Labura Bungkam Soal Dugaan Pungli, FKP2N Sumut Angkat Suara.

Sumut19 Dilihat

Labura, Beninginfo.com- Setelah terbitnya pemberitaan mengenai dugaan pungutan liar di lingkungan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Labuhanbatu Utara, sejumlah pejabat terkait memilih bungkam. Kepala BKD Labura, Lahamuddin Munte, S.IP., MM., tidak memberikan tanggapan meskipun telah dihubungi melalui panggilan telepon maupun pesan WhatsApp. Hal serupa juga terjadi pada Inspektur Inspektorat Labura, Indra Paria, ST., M.Si., CGCAE, yang tidak memberikan respon atas konfirmasi wartawan.

Sementara itu, Kepala Bidang Mutasi BKD Labura, Yuda Iskandar Aruan, SP., M.M., hanya memberikan jawaban singkat berupa ucapan terima kasih tanpa penjelasan lebih lanjut terkait substansi pertanyaan yang disampaikan.

Sikap bungkam para pejabat tersebut mendapat kritik dari masyarakat, termasuk dari Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah Sumatera Utara Forum Komunikasi Peduli Pelayanan Nasional (FKP2N), Fachri Ramadhan Daulay. Ia menilai, diamnya para pejabat seolah menunjukkan lemahnya transparansi pemerintah daerah terhadap dugaan praktik tidak terpuji di tubuh birokrasi.

“Pemerintah seharusnya terbuka terhadap setiap dugaan penyimpangan. Kalau memang tidak benar, sampaikan klarifikasi agar publik tidak berasumsi. Diam bukan solusi,” tegas Fachri saat dikonfirmasi, Jumat (1/11/2025).

Fachri menambahkan, masyarakat berhak mengetahui bagaimana pemerintah menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap aparatur, terutama bila menyangkut pelayanan publik dan integritas ASN. “BKD dan Inspektorat seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan disiplin dan mencegah penyimpangan,” ujarnya.

Melihat hal ini, Sekretaris DPW LSM FKP2N Sumut, Fachri Ramadhan Daulay, menegaskan komitmen lembaganya untuk terus mengawal dugaan pungli honorer paruh waktu di Labura agar terang benderang dan tidak merugikan masyarakat.

“Kami akan terus mengawasi proses ini hingga tuntas. Pemerintah harus transparan dan bertindak tegas agar kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan tetap terjaga,” tutup Fachri.

Untuk diketahui pada berita rilis terbit, 'Dugaan Pungutan Liar Kelulusan PPPK Paruh Waktu di RSUD Aek Kanopan, Publik Minta Transparansi Penegakan Hukum', dimana pada awal Oktober 2025, mencuat isu bahwa sejumlah calon pegawai PPPK Paruh Waktu di RSUD Aek Kanopan diminta menyetorkan uang senilai sekitar Rp 7 juta per orang. Permintaan tersebut disebut sebagai “biaya administrasi” agar nama mereka dapat dipertahankan dalam daftar kelulusan. Isu ini pertama kali beredar di kalangan tenaga kontrak dan tenaga kesehatan yang mengikuti seleksi PPPK Paruh Waktu tahun 2025.

Beberapa peserta seleksi mengaku menolak permintaan tersebut karena nilai pungutan dianggap memberatkan. Sebagian menyampaikan bahwa gaji mereka sebagai tenaga paruh waktu hanya berkisar Rp 1 juta per bulan, sehingga pungutan itu tidak masuk akal. Meski begitu, beredar kabar adanya tekanan dan ancaman tidak diluluskan bagi mereka yang enggan membayar, sehingga sebagian peserta merasa terpaksa mengikuti permintaan tersebut.

Selanjutnya, menjelang akhir Oktober 2025, publik dikejutkan dengan beredarnya sejumlah bukti dugaan pungli, berupa foto tumpukan uang tunai, tangkapan layar percakapan WhatsApp, serta rekaman suara berdurasi sekitar delapan menit. Dalam rekaman itu, terdengar seseorang memberikan instruksi agar uang dikumpulkan sebagai jaminan kelulusan. Bukti-bukti ini kemudian menyebar luas di media sosial dan diberitakan oleh sejumlah media lokal. **Ari wibowo