Labuhanbatu Utara,Bening info || Hujan yang turun pada Selasa, 16 Desember 2025, tidak lagi dimaknai sebagai sekadar rahmat Tuhan oleh masyarakat Dusun VII Pangujungan Situmba dan Desa Hasang, Kecamatan Kualuh Selatan, Kabupaten Labuhanbatu Utara. Derasnya air yang mengguyur sejak pagi justru menumbuhkan ketakutan kolektif, seolah menjadi alarm bencana yang membangunkan ingatan pahit masyarakat akan tragedi banjir dan longsor di Sumatera Barat, Sibolga, hingga Aceh.
Kekhawatiran itu muncul seiring maraknya pembukaan lahan hutan tua di Dusun VII Pangujungan Situmba. Warga menilai, kawasan yang dahulu berfungsi sebagai benteng alami penahan air kini perlahan kehilangan perannya. Seorang warga setempat yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan kegelisahannya dengan nada penuh kecemasan.
“Sekarang hujan turun bukan lagi kami anggap rahmat, tapi tanda bahaya. Hutan sudah banyak dibuka, tanah tidak seperti dulu. Kalau hujan deras, kami takut air turun tanpa kendali,” ujarnya.
Warga tersebut menambahkan bahwa pembukaan lahan yang disebut-sebut mencapai ratusan hektare membuat masyarakat di wilayah bawah hidup dalam bayang-bayang bencana. “Kami ini di hilir. Kalau di atas sudah gundul, kami yang pertama merasakan akibatnya. Jangan tunggu banjir dulu baru semua ribut,” katanya dengan nada getir.
Sorotan terhadap pembukaan hutan tua ini sebelumnya juga telah mencuat ke ruang publik melalui pemberitaan berjudul; “Hutan Tua Terancam, Publik Desak Penghentian Pembukaan Lahan Diduga Ilegal Dusun VII Pangujungan Situmba.” Hujan yang mengguyur Labura hari ini seakan mempertegas bahwa persoalan tersebut bukan sekadar isu lingkungan, melainkan ancaman nyata bagi keselamatan masyarakat.
Sekretaris DPW LSM FKP2N Sumatera Utara, Fachri Ramadhan Daulay, menilai kondisi ini sebagai peringatan keras yang tidak boleh diabaikan oleh pemerintah daerah. “Ketika hutan tua dibuka secara masif, maka yang dipertaruhkan bukan hanya ekosistem, tetapi nyawa dan rasa aman masyarakat. Negara tidak boleh menunggu bencana untuk bertindak,” tegas Fachri.
Ia menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara jelas melarang setiap perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Undang-undang tersebut juga mewajibkan pemerintah daerah melakukan pengawasan dan pencegahan sedini mungkin terhadap potensi kerusakan lingkungan.
Selain itu, Fachri mengingatkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menegaskan fungsi hutan sebagai pengatur tata air, pencegah banjir, dan pengendali erosi. “Kalau fungsi hutan ini diabaikan, maka hujan akan berubah menjadi ancaman. Ini bukan tuduhan, ini peringatan hukum dan moral,” ujarnya.
Kritik publik pun mengarah kepada Bupati Labuhanbatu Utara, Dr. Hendriyanto Sitorus, S.E., M.M., selaku pemimpin pemerintahan daerah. Masyarakat dan aktivis lingkungan berharap kepala daerah tidak memandang persoalan ini sebagai isu sepele. Secara struktural dan moral, pemerintah daerah dinilai memiliki kewajiban memastikan setiap aktivitas pembukaan lahan dilakukan sesuai aturan, kajian lingkungan, serta prinsip keberlanjutan.
“Bupati harus berdiri di depan melindungi rakyatnya. Jangan sampai pemerintah terlihat hadir hanya setelah bencana datang dan korban berjatuhan,” kata Fachri Ramadhan Daulay menegaskan.
Hingga berita ini diturunkan, hujan masih mengguyur wilayah Kualuh Selatan. Di balik derasnya air yang jatuh dari langit, tersimpan harapan agar pemerintah daerah segera bertindak tegas dan transparan. Sebab jika peringatan alam terus diabaikan, maka hujan berikutnya mungkin tidak lagi sekadar membasahi tanah, melainkan menenggelamkan penyesalan yang datang terlambat.***(Ari /tim)






